Hidayah adalah kebutuhan hidup manusia yang paling utama. Bagaimana tidak, lha wong setiap hari di setiap kali sholat -bahkan di setiap raka’at- orang-orang yang beriman senantiasa diperintahkan untuk meminta hal itu kepada Rabbnya. Ihdinash shirathal mustaqim…
Meskipun demikian, kita dapati sebagian orang -bahkan banyak di antara mereka- yang menyepelekan hidayah yang agung ini atau menyia-nyiakannya. Betapa banyak di antara mereka yang telah diberikan hidayah oleh Allah untuk memeluk agama Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat, menjalankan sholat, membayarkan zakat, berpuasa Ramadhan, bahkan bisa menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit di antara mereka yang tidak menyadari betapa besar anugerah yang Allah berikan kepada mereka. Akibatnya mereka pun menyia-nyiakan nikmat yang agung ini. Nikmat hidayah, Subhanallah!
Saudaraku, kisah berikut ini mungkin akan menyadarkan mereka yang lalai akan nikmat yang agung ini. Bukhari dan Muslim meriwayatkan di dalam Shahih mereka berdua, dari Sa’id bin al-Musayyab dari bapaknya, bahwa pada saat kematian sudah hampir menemui Abu Thalib -paman Nabi- maka datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Namun ternyata di sisi pamannya itu telah dijumpainya Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untukmu di sisi Allah.” Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada ajaran Abdul Muthallib -ayahmu-?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menawarkan ajakan itu kepada pamannya dan mengulang-ulang ucapan tadi. Sampai pada akhirnya Abu Thalib mengatakan di akhir pembicaraannya kepada mereka bahwa dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkan la ilaha illallah… (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/60-61])
Dari kisah ini kita dapat mengetahui betapa tinggi dan mahalnya nilai hidayah. Siapakah Nabi Muhammad dan siapakah Abu Thalib? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang utusan Allah yang malaikat pun bersedia menawarkan bantuan kepadanya atas izin Allah. Adapun Abu Thalib adalah pamannya sendiri yang selama hidup senantiasa membela Nabi dan melindunginya dari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy. Meskipun demikian, lihatlah… bagaimana kondisinya menjelang ajal. Di saat semua orang membutuhkan keimanan, di saat itu pun ternyata kalimat tauhid pun tidak kunjung dia ucapkan. Dia enggan, padahal dia telah mengetahui bahwa ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebenaran. Taufik di tangan Allah.
Hati manusia –ayyuhal ikhwah– berada di antara jari-jemari ar-Rahman yang Allah akan membolak-balikkannya sebagaimana yang Allah kehendaki. Apakah kita merasa aman dari su’ul khatimah? Subhanallah… Ingatlah, bahwa kita tidak akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus kecuali dengan nikmat hidayah dari Allah, bahkan kita tidak bisa menemukan jalan yang lurus itu kalau seandainya Allah tidak membimbing kita menujunya. Maka sadarilah nikmat yang agung ini, dan hargailah ia sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang sahabat di dalam sya’irnya,
“Kalau bukan karena Allah niscaya
kami tidak mendapatkan hidayah,
dan tidak menunaikan sholat…”
Sungguh, sebuah kisah yang menyimpan banyak pelajaran berharga. Di antara pelajaran dari hadits di atas adalah:
- Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menguasai pemberian hidayah/taufik, bagi dirinya sendiri apalagi bagi orang lain. Demikian juga pemberian syafa’at, bukan milik beliau! (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang kuasa memberikan hidayah kepada orang yang Allah kehendaki…” (QS. al-Qashash: 56)
- Tingginya semangat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berupaya menyampaikan hidayah ke dalam hati orang yang didakwahi terlebih lagi jika mereka adalah sanak familinya sendiri (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
- Kisah ini menunjukkan besarnya keutamaan tauhid. Oleh sebab itu kita tidak boleh sedikitpun mempersembahkan doa/ibadah kepada selain Allah (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
- Datangnya taufik itu semata-mata bersumber dari Allah (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
- Kedudukan Nabi tidak boleh ditinggikan melebihi kedudukan Allah (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
- Menceritakan kekafiran yang dilakukan orang lain tidak selayaknya menggunakan kata ganti pertama -saya- (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
- Meskipun kalimat tauhid itu ringan dan mudah diucapkan, namun ternyata tidak bisa mengucapkannya melainkan orang yang mendapatkan taufik dari Allah ta’ala (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
- Keluarga dan persahabatan itu memiliki pengaruh terhadap agama seseorang (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
- Orang yang meninggal di atas kemusyrikan maka dia akan berada kekal di neraka Jahannam. Dan dia dihukumi sebagai orang yang berhak masuk neraka/ash-haabul jahiim (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang). Semoga Allah menyelamatkan kita darinya…
- Disyari’atkannya menuntun orang yang sekarat/akan meninggal untuk mengucapkan la ilaha illallah, yaitu dengan memerintahkannya mengucapkan la ilaha illallah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi, bukan hanya sekedar mengingatkannya -tanpa memerintah- (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
- Bolehnya mendoakan agar orang-orang musyrik mendapatkan hidayah (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
- Disyari’atkannya menyambung tali kekerabatan meskipun dengan saudara yang kafir (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
- Diperbolehkannya menjenguk orang kafir yang sakit dengan maksud mendakwahi atau menarik simpati mereka supaya masuk Islam (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
Hidayah ini mahal wahai saudaraku…
Oleh sebab itu, Allah mengingatkan kita bahwa jalan yang lurus ini adalah jalan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah, bukan jalan semua orang yang mencarinya. Ini artinya, orang hanya akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus ini jika dia diberikan nikmat taufik dari Allah ta’ala, bukan semata-mata hasil jerih payah dan usaha dirinya sendiri. Hidayah itu adalah nikmat, ikhwah sekalian…
Lihatlah, berapa banyak kita saksikan sebagian orang yang dulunya punya komitmen dengan ajaran agama dan menampakkan diri sebagai seorang yang bermanhaj lurus, namun perjalanan hidup dan dunia kerja telah merubah dirinya. Jilbabnya yang dulu lebar dan rapat kini menjadi menjadi sempit dan ketat. Jenggotnya yang dulu lebat kini pun habis dibabat. Celananya yang dulu berada di atas mata kaki, kini telah terjuntai menyapu bumi. Sholat lima waktunya yang dulu berjama’ah kini pun cukup di rumah. Matanya yang dulu tertunduk ketika melihat lawan jenis kinipun tertengadah. Telinganya yang dulu benci mendengar musik, kini telah larut dalam alunan nada-nadanya… Subhanallah! Bagaimanakah nasib kita, saudara-saudaraku sekalian… Akankah kita berbalik ke belakang, kembali ke alam kejahiliyahan…? Padahal anugerah hidayah itu telah kita jumpai, namun sayang seribu sayang kita sering melalaikan dan menyia-nyiakannya, nas’alullahat taufiq was salamah..
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman niscaya Kami akan membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan yang dipilihnya, dan kelak Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Allah ta’ala memerintahkan (yang artinya), “Ingatlah kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian kufur.” (QS. al-Baqarah: 152).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhuma, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu -karena Allah- janganlah kau lupakan untuk membaca doa di setiap akhir sholat, yaitu: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik ‘Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu’.” (Hadits ini disahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, lihat takhrij kitab al-Fawa’id cet. Dar al-‘Aqidah hal. 124)
Kami sadar bahwa apa yang kami tulis ini sangat jauh dari kesempurnaan, namun hanya satu yang kami harapkan bahwa tulisan ini bisa mengetuk hati kita semua untuk segera kembali bertaubat kepada Allah ta’ala dari segala kesalahan dan penyimpangan kita. Ingatlah, ya akhi… kematian pasti tiba di hadapan kita. Sementara kita tidak tahu, kita tidak tahu bagaimana akhir hidup kita nanti. Oleh sebab itu marilah kita hiasi nafas-nafas kita dengan dzikir kepada-Nya. Marilah kita isi hati kita dengan cinta, takut, dan harap kepada-Nya. Marilah kita tundukkan lisan dan anggota badan kita untuk taat kepada Rabb penguasa alam semesta, Raja yang menguasai hari pembalasan. Masih ada waktu untuk berbenah, mumpung badan belum berkalang tanah… Allah ta’ala masih memberikan kesempatan bagi kita untuk bersimpuh di hadapan-Nya dan menyesali dosa-dosa kita di masa silam.
Marilah kita perbanyak membaca sebuah doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia terbaik sesudahnya yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu ketika dia meminta kepada Nabi untuk diajari doa di dalam sholat dan ketika sedang berada di rumah. ‘Allahumma inni zhalamtu nafsi zhulman katsiran wa la yaghfirudz dzunuba illa anta. Faghfirli maghfiratan min ‘indik warhamni. Innaka antal Ghafurur Rahim.’ Ya Allah, sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku, sementara tidak ada yang bisa mengampuni dosa selain diri-Mu. Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan sayangilah aku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [8/296])
Akhir seruan kami adalah segala puji hanya bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman, para sahabatnya, dan segenap pengikut mereka yang setia dengan Sunnahnya.
Yogyakarta, 4 Dzulqo’dah 1430 H
Yang sangat membutuhkan bimbingan Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
-semoga Allah menunjukinya-
http://abumushlih.com